- Penggambaran Tokoh Karakter Dalam
Cerita Dengan Paragraf Deskripsi
1. Penggambaran Langsung Tokoh :
Ayu adalah gadis hitam manis yang
lembut dan ramah juga memiliki ukuran tubuh yang lebih mungil dari teman-teman
sebayanya ini, memiliki banyak teman dan salah satunya adalah Lisa, yang merasa
sangat nyaman berteman dengan Ayu karena menurutnya, Ayu adalah teman yang baik
untuknya.
2. Penggambaran Fisik dan Perilaku
:
Vania sangat heran mendengar
pernyataan teman-temannya yang mengatakan bahwa anak baru yang bernama Alex
adalah cowok yang paling perfect di sekolahnya. Memang, Vania juga mengakui
bahwa Alex memiliki wajah tampan dengan rahang yang tegas, kulit putih,
bertubuh atletis dan juga mata yang indah, namun perilakunya yang tidak mau
saling bertegur sapa kepada siapa saja yang lewat dihadapannya membuat Vania
membenci Alex.
3. Penggambaran Karakter dari Lingkungan
:
Lisa dan Ayu mendapatkan nilai 10
besar, sehingga mereka berdua masuk dalam kelas 1A. Kelas 1A merupakan kelas
yang dihuni oleh siswa-siswi yang berprestasi dan mendapatkan nilai ujian 40
terbaik, kelas 1B diduduki oleh siswa-siswi 41-80 terbaik dan kelas 1C diisi
oleh siswa siswi yang menempati peringkat 80-120.
- Penggambaran Tokoh Karakter Dalam Cerita Dengan Paragraf Narasi
1. Penggambaran Tokoh dari Ketatabahasaan
:
“Heh,, dasar gak punya otak lo!! Lo
pikir dengan lu pake kerudung terus gue bisa langsung maafin elo, hah?? Gak
segampang itu Al. Sampe lu nangis darah pun gue nggak akan maafin lo Alya!
Inget itu!!”
2. Penggambaran Tokoh oleh Tokoh lain :
“Ya ampun, Aga!! coba lu liat ke
sana deh!! Itu kan Alfri. Teryata bener ya, kata cewek-cewek di sekolah ini
kalo ketua kelas IPA1 yang baru itu ternyata ganteng dan ramah banget ya! Tuh,,
liat deh! dia senyum ke arah kita!!” ucap Crishtine semangat.
3. Penggambaran Tokoh dari Jalan Pikiran
yang Dikemukakan oleh Penulis
:
“Mungkin yang lo rasain bukan pengin
punya cowok Joy, tapi perasaan ingin dicintai, ingin berharga buat orang lain
dan ingin merasa kita cantik.” Wening menerawang dengan wajah penuh arti
sekaligus begitu teduh.
c. Alur (Plot)
Alur adalah urutan jalan cerita dalam cerpen yang di sampaikan oleh penulis. Dalam menyampaikan cerita, ada tahapan-tahapan alur yang disampaikan oleh sang penulis. Diataranya:
- Tahap perkenalan.
- Tahap penanjakan.
- Tahap klimaks.
- Anti klimaks
- Tahap penyelesaian.
Tahap-tahap alur tersebut harus ada dalam sebuah cerita. Tujuannya adalah agar cerita itu tak membingungkan sang pembaca. Ada 2 jenis alur yang biasanya digunakan oleh para penulis, yaitu:
Alur maju: Alur ini menceritakan jalan cerita yang urut dari awal perkenalan tokoh, situasi lalu memunculkan masalah hingga puncak masalah dan terakhir penyelesaian masalah. Jadi intinya, pada alur maju ditemukan jalan cerita yang urut seseuai dengan tahapan-tahapannya.
Alur mundur: Di alur ini, penulis menceritakan jalan cerita secara tidak urut. Bisa saja penulis menceritakan konflik terlebih dahulu, lalu kemudian menengok kembali peristiwa yang menjadi sebab konflik itu terjadi.
d. Latar
Latar mengacu pada suasana, waktu dan tempat terjadinya cerita tersebut. Latar akan memberikan kesan konkret pada suatu cerita pendek. Ada 3 jenis latar dalam sebuah cerpen yakni latar waktu, tempat dan suasana.
e. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah strategi yang digunakan oleh pengarang cerpen untuk menyampaikan ceritanya. Entah itu sebagai orang pertama, kedua, ketiga. Bahkan ada beberapa penulis yang menggunakan sudut pandang orang yang berada di luar cerita.
f. Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah ciri khas sang penulis dalam menyampaikan tulisanya kepada publik. Entah itu penggunaan diksinya, majas dan pemilihan kalimat yang tepat di dalam cerpennya.
g. Amanat
Amanat (Moral value) adalah pesan moral yang bisa kita ambil dari cerita tersebut. Di dalam sebuah cerpen, moral biasanya tidak disebutkan secara tertulis melainkan tersirat dan akan bergantung pada pemahaman pembaca akan cerita tersebut. Amanat tersurat bisa langsung diambil dari ceritanya. Akan tetapi jika amanatnya tersirat bisa dijelaskan seperti apa yang kamu bayangkan dalam cerita tersebut.
E. Unsur Ekstrinsik
Jenis-jenis cerpen berdasarkan jumlah katanya :
1. Cerpen mini (flash), cerpen dengan jumlah kata antara 750-1.000 buah.
2. Cerpen yang ideal, cerpen dengan jumlah kata antara 3.000-4000 buah.
3. Cerpen panjang, cerpen yang jumlah katanya mencapai angka 10.000 buah.
Jenis - jenis cerpen berdasarkan teknik mengarangnya:
1. Cerpen sempurna (well made short-story), cerpen yang terfokus pada satu tema dengan plot yang sangat jelas, dan ending yang mudah dipahami. Cerpen jenis ini pada umumnya bersifat konvensional dan berdasar pada realitas (fakta). Cerpen jenis ini biasanya enak dibaca dan mudah dipahami isinya. Pembaca awam bisa membacanya dalam tempo kurang dari satu jam
2. Cerpen tak utuh (slice of life short-story), cerpen yang tidak terfokus pada satu tema (temanya terpencar-pencar), plot (alurnya) tidak terstruktur, dan kadang-kadang dibuat mengambang oleh cerpenisnya. Cerpen jenis ini pada umumnya bersifat kontemporer, dan ditulis berdasarkan ide-ide atau gagasan-gagasan yang orisinal, sehingga lajim disebut sebagai cerpen ide (cerpen gagasan). Cerpen jenis ini sulit sekali dipahami oleh para pembaca awam sastra, harus dibaca berulang kali baru dapat dipahami sebagaimana mestinya. Para pembaca awam sastra menyebutnya cerpen kental atau cerpen berat.
Jenis - jenis cerpen berdasarkan alirannya
Cerpen realis adalah cerpen yang menggambar sesuatu apa adanya, seperti sesungguhnya. Cerita cerpen realis akan berkutat pada cerita sehari-hari. Pengarang cerpen melukiskan apa adanya, tidak memihak dan mengesampingkan prasangka atau pandangannya sendiri.
Cerpen surealis adalah kebalikan dari cerpen realis. Surealis berhubungan dengan dunia mimpi. Dunia angan-angan. Dunia mistis. Dunia yang berbeda dengan dunia nyata. Dalam cerpen-cerpen surealis, benda mati dapat berbicara. Bayangan dapat melakukan sesuatu dan segala macamnya. Namun meskipun demikian, pengarang tidak memaksakan pandangannya, penafsiran diserahkan kepada pembaca.
Cerpen idealis adalah cerpen yang sarat akan pandangan penulis. Di dalamnya terdapat cita-cita penulis yang diadopsi oleh tokoh-tokoh cerita. Penulis cerpen idealis memiliki pandangan tersendiri mengenai hari ini atau sesuatu yang jauh di masa depan, dan ia berusaha menggiring pembaca pada pandangannya itu.
Cerpen romantis adalah cerpen yang mengutamakan perasaan. Bisa hubungan antara sepasang manusia maupun hubungan-hubungan lain. Penulisan cerpen romantis mengutamakan pilihan bahasa yang indah demi menunjang romantisme ceritanya.
Cerpen ekspresionis berkaitan dengan ekspresi pengarang terhadap sesuatu.
G. Contoh Cerpen:
MUTASI
(Kado
buat rekan guru di Hari Pendidikan Nasional)
Ada perasaan bersalah yang
menuduhku sepanjang hari ini. Keterlaluan memang sikapku tadi di sekolah.
Sebenarnya kesalahan Komang tak seberapa, terlebih aku yakin ia tak sengaja.
Bahkan secara jujur kuakui, aku pun ikut bersalah dalam peristiwa sepele itu.
Seperti
biasa, sejak dimutasikan oleh yayasan pusat mengajar di desa kecil ini, aku
masuk kelas tanpa minat. Melihat wajah para siswa yang sebagian besar legam
terbakar matahari, serta seragam mereka yang tak bisa disebut bersih, rontoklah
semangatku. Lantas seperti biasa aku menjelaskan pelajaran sekedarnya. Tak
kupedulikan apakah anak-anak memahami penjelasanku, yang penting kewajiban
sudah kujalankan. Tanpa kuberi kesempatan bertanya, kusuruh mereka mencatat.
“Siapa
yang hari ini bertugas menulis di papan?” tanyaku dingin. Anak-anak diam.
Mereka ini selalu saja bersikap takut-takut, malu-malu. Kuedarkan pandangan ke
seluruh kelas dan kuulang pertanyaanku. Komang mengangkat tangan kemudian maju
dengan langkah lamban. Buku kuberikan kepadanya, tapi kemudian aku
teringat ada bagian yang tak perlu dicatat. Segera kutarik kembali buku
matematika di tangannya, namun rupanya Komang belum melepas pegangan. Kraaaakkk…!
Robeklah bukuku.
Kalau
saja peristiwa itu terjadi di Denpasar, di sekolah tempatku mengajar dulu,
barangkali aku tidak marah. Toh hanya buku yang tak seberapa harganya.
Tetapi di desa yang tidak menggairahkan ini apa saja bisa meledakkan amarahku.
Jangankan buku robek. Kelas kurang bersih, ketidaksiapan siswa, baju yang lepas
kancingnya, dan hal-hal kecil lainnya sudah cukup menjadi alasan bagiku untuk
marah-marah. Begitulah, tadi pagi kumaki Komang habis-habisan. Makian yang
sebenarnya tidak pada tempatnya dan tidak sepadan dengan kesalahannya. Ia pucat
pasi, bahkan isak tangis yang berusaha ditahannya dapat kudengar. Air matanya
bergulir-gulir di pipi dan merembes ke lehernya. Aku belum puas. Sungguh,
mutasi yang ditimpakan yayasan kepadaku harus dibayar mahal. Bukan yayasan yang
membayar, lembaga yang mau tak mau wajib kupatuhi keputusannya; melainkan anak
didikku yang tak berdaya. Ya, anak didik yang sama sekali tak punya sangkutan
dengan ikhwal mutasiku, kupaksa menelan pil pahit dari rasa frustrasiku.
“Jongkok
dengan tangan ke atas!” perintahku pada Komang di akhir omelanku yang tidak
patut. Tak ada guna melawan. Di sekolah desa seperti ini, guru tak perlu
mengulang perintah. Komang menjalani hukuman, entah dengan perasaan apa. Yang
jelas setelah bel ganti pelajaran berbunyi, saat kubebaskan Komang dari
hukuman, saat anak itu kusuruh berdiri, dia malah jatuh terduduk. Tentu kaki
dan tangannya pegal. Sudah pasti matanya berkunang-kunang waktu mencoba
berdiri. Aku tak peduli. Dengan congkak kutinggalkan kelas tanpa menolongnya.
Sebetulnya ada perasaan tak enak yang menggugat, tapi buru-buru kubungkam suara
hatiku.
Salah
siapa jika aku berubah drastis begini? Dulu aku adalah guru yang manis di
Denpasar, tapi sekarang aku menjadi guru yang bengis di ujung desa Karangasem
ini. Atas dasar apa yayasan memindahkan aku ke daerah keparat ini? Aku guru
baik, pintar mengajar, semestinya dipertahankan di kota.
Begitulah,
seperti hari-hari sebelumnya aku terus uring-uringan. Pangkal semua ini adalah
mutasi yang tak kuharapkan. Mengapa aku? Mengapa harus aku yang dipindahkan?
Pertanyaan itu terus mengganggu dan menyakitiku. Alasan yang disampaikan
yayasan bahwa Ibu Ida minta pindah karena mengikuti suami yang bertugas di
Denpasar, sehingga aku yang belum berkeluarga ini dianggap cocok
menggantikannya, sungguh tak bisa kupercaya. Alasan yang terlalu dicari-cari.
Sentimen! Tapi alangkah malang aku ini, lengkap dengan sifat pengecut yang
telanjur bercokol. Di depan ketua yayasan yang memberitahu perihal mutasi itu
aku tidak protes, tidak bertanya apa pun, persis kambing congek. Aku bahkan
berhasil memaksakan diri tersenyum dan mengangguk mantap. Ketua yayasan
memujiku sebagai guru yang penuh dedikasi, guru teladan, guru yang mengerti
betul panggilan sucinya, dan entah pujian apalagi yang kudengar. Aku tersenyum,
mengobral sejumlah kata mutiara tentang pendidikan dan idealisme guru, sambil
menekan rasa kecewa dan amarah yang menggelegak di dada. Munafik memang,
tapi…begitulah aku.
***
Aku
baru saja selesai mandi tatkala terdengar ketukan pintu. Siapa tamuku?
Paling-paling Bu Susi, rekan guru yang kelewat gemuk dan murah senyum itu.
Memang tidak jarang ia ke rumah, ngobrol tentang apa saja, terutama tentang
murid-murid yang sangat dicintainya. Menurut Bu Susi, para siswa di desa ibaratnya
bongkahan mutiara yang belum digosok. Jika mutiara itu jatuh ke tangan pendidik
yang baik, suatu saat mereka akan mampu memancarkan cahaya berkilauan di tengah
dunia yang makin pekat ini. Biasanya aku mengangguk-angguk saja menanggapi
ceritanya. Tapi sore ini aku tidak ingin mendengar kehebatan si Made Karyati,
atau besarnya rasa tanggung jawab Gede Dharma Putra. Kalau nanti Bu Susi yang
sudah menjanda itu memperbincangkan mereka, akan kualihkan arah obrolan. Tapi…
mampukah aku? Kepada murid yang tak berdaya, aku memang bisa berperan seperti
singa. Tapi pada orang dewasa, biasanya sifat pengecutku muncul, menyetujui
saja semua omongan orang meskipun dalam hati tidak sependapat.
Sambil
mengeringkan rambut pintu kubuka. Surprise karena yang berdiri di depanku
seorang remaja kurus dengan wajah memelas, Komang. Murid yang kuhukum tadi
pagi. Sebenarnya saat ini adalah waktu yang tepat untuk menerima kehadirannya,
lantas selesailah peristiwa tak enak tadi pagi di sekolah.
Tapi…ya…Tuhan…melihat bocah ini merunduk takut dengan bibir bergetar, entah
mengapa ada rasa puas menelusup di dadaku. Perasaan yang tak mudah kupahami ini
selalu muncul saat orang lain terlihat tak berdaya di depanku. Detik berikutnya
aku ingin Komang lebih ‘melata’. Ia harus sadar bahwa sebagai guru aku memiliki
kekuasaan. Entah setan apa yang merasukku, tiba-tiba wajahku mengeras, dan
remaja di depanku tak lebih baik nasibnya dari seekor tikus kecil di depan
kucing besar.
“Untuk
apa datang?! tanyaku ketus. Matahari senja yang memancarkan sinar jingga
membuat wajahnya yang pias nampak sangat menderita.
“Saya…minta
maaf,” ucapnya lirih. “Ini untuk mengganti buku mat…,” tambahnya gugup. Dalam
hati aku kagum pada kesigapannya mencari buku pengganti. Di desa ini tak ada
toko buku. Jadi pastilah Komang atau salah satu saudaranya bersusah payah ke
kota. Bukan senang karena mendapat buku pengganti, aku malah tersinggung. Tanpa
sepatah kata pun kurobek buku matematika di depan hidungnya, lantas kudorong
tubuhnya yang kecil itu, dan kututup pintu dengan kasar. Blaaaammm!
Tubuhku
terasa ringan bagai kapas. Rasanya aku tak menginjak bumi. Jangan disangka
tidak ada perasaan bersalah yang menyergapku, terlebih setelah lewat jendela
kulihat Komang terisak sambil melangkah pergi. Nuraniku terusik, tapi tak ada
lagi gunanya. Aku masuk kamar, menelungkupkan wajah di bantal, dan terisak.
Kenapa aku begini? Hati kecilku tidak membenci anak itu. Sebenarnya persoalan
yang menekanku, yang membuatku ‘sakit’ seperti ini ada dalam diriku sendiri
yang tak bisa menerima nasib menjadi guru di desa terpencil. Ya, Komang hanya
sasaran. Dia hanyalah anak malang yang harus menanggung getah dari rasa
frustrasiku. Aku malu, minder, dan menanggung perasaan-perasaan rendah diri
lainnya gara-gara mutasi ini. Kecuali itu terus terang penghasilanku merosot
drastis. Memang besaran gaji sama saja dengan di Denpasar, tapi di sana aku
mempunyai banyak murid les. Uang yang kuperoleh dari memberi les bahkan lebih
banyak daripada gaji resmi. Dengan uang itu aku bisa ikut membiayai kuliah adikku
di Yogyakarta. Di desa ini, mana mungkin orang tua mengeleskan anaknya. Pak
Suryawan, guru fisika yang baik itu seminggu sekali memberi pelajaran tambahan
untuk anak-anak yang nilainya kurang memuaskan. Itu dilakukan atas nama
cinta, sama sekali tanpa bayaran! Ketika pertama kali aku mendengar hal itu,
tidak dapat kusembunyikan keherananku. Bagaimana bisa seseorang bertahan dengan
kebaikan semacam itu di zaman yang mendudukkan materi di urutan teratas dari
seluruh kebutuhan manusia? Tapi di desa ini aku menyaksikan kenyataan
lain. Aku bertambah heran saat kuketahui tak hanya Pak Surya yang
melakukan hal itu. Juga Bu Susi, Pak Made, Bu Agung, dan Pak Dongker. Menjawab
keherananku, Bu Susi mengatakan bahwa memang begitulah seharusnya seorang guru yang
kepuasan batinnya terletak pada kesuksesan anak didik.
“Kalau
kita memaknai pekerjaan semata-mata demi uang, “ kata Bu Susi menambahkan,
“salah alamat memilih profesi guru!”
Tetap
saja tak dapat kumengerti ucapan Bu Susi. Yang jelas, tak terbersit keinginan mengikuti
jejak kawan-kawan yang kuanggap konyol itu.Jadi, ditinjau dari segi materi
maupun harga diri, aku merasa dirugikan dengan mutasi ini. Hatiku memberontak,
menggelegak, dan para siswa-lah sasarannya. Meskipun kekesalan hatiku
tersalurkan, tapi sejujurnya hatiku tidak bahagia, sebaliknya sangat terluka.
Anak-anak tidak melawan, seperti Komang tadi, tapi hati kecilku menentang lebih
keras. Aku merasa diejek oleh nuraniku sendiri, sampai-sampai aku tak mampu
menghargai diri sendiri. Perasaan menjadi manusia tak berharga seperti ini
sungguh-sungguh hukuman! Apa yang bisa kuperbuat kecuali menangis? Berdoa?
Tidak! Entah sudah berapa lama kata ‘doa’ menjadi sangat asing bagiku. Dan
Yesus? Barangkali ia sedih, menyendiri menanti tobatku, tapi aku telanjur merasa
tak layak. Aku tak berani lagi menyapa-Nya.
***
Pagi
cerah. Udara desa yang segar menelusup ke dalam rumah kontrakan ini,
pelan-pelan membangunkanku. Mataku terasa berat dan pedih, sisa tangisku
semalam. Meskipun suasana indah, namun hatiku tetap muram. Aku bersiap-siap
memulai hari ini : mandi, sarapan, bersiap-siap sekedarnya, lalu berangkat ke
sekolah. Yang kuharapkan ketika meninggalkan rumah adalah berjumpa dengan
Komang. Aku tidak ingin persoalan kemarin berkembang lebih buruk sehingga dapat
mencelakakan profesiku. Tentu saja aku tak sudi datang meminta maaf pada
Komang. Aku percaya masih ada cara lain untuk mengembalikan citraku tanpa harus
merunduk-runduk di depan remaja SMP belasan tahun. Sebuah senyuman tipis saja
barangkali sudah cukup untuk mendinginkan suasana.
Tapi
rupanya aku harus menelan kekecewaan. Hari ini Komang tidak masuk. Aku gelisah.
Kalau sampai tersiar kabar tentang kejadian kemarin, betapa malunya aku.
Seorang guru, lebih-lebih wanita, semestinya memiliki kelembutan. Tapi
tindakanku pada Komang… aduuuh…apa jadinya jika Pak Oka, kepala sekolah kami
lantas melaporkan hal ini pada yayasan? Berturut-turut Komang tidak masuk.
Sehari, dua hari, tiga, empat…kegelisahanku memuncak. Anak sialan! Haruskah
kucari dia di rumahnya di seberang sungai?
Hari
kelima Komang tidak masuk, guru-guru mulai membicarakannya. Cara mereka
berbisik-bisik dan langsung terdiam jika aku ada, sungguh membuat hati semakin
tak nyaman. Betul saja. Pada jam istirahat Pak Oka memanggilku. Aku menemuinya
di ruang kepala sekolah.
“Selamat
siang, Pak,” sapaku menyembunyikan rasa gugup.
“Oh…mari,
Bu, silakan duduk. Bagaimana…sudah kerasan tinggal di sini?”
Aku
mengangguk. Dalam hati jengkel. Untuk apa pertanyaan basa-basi ini? Aku
menunggu vonis.
“Sudah
lima hari ini Komang tidak masuk,” ucap pimpinanku. Meskipun arah
pembicaraannya sudah kuduga, tak pelak darahku berdesir juga.
“Begini,
Bu. Kemarin Ibu Komang datang ke sekolah, memberitahu bahwa Komang tak berani
masuk sebab takut berjumpa dengan Ibu.”
“Itu
terlalu dilebih-lebihkan, Pak. Saya memarahi Komang dalam batas yang wajar agar
ia lebih berhati-hati lain kali.”
“Ya,
ya. Saya percaya Ibu tidak bermaksud jelek. Memang begitu anak desa, Bu.
Nyali mereka kecil sekali. Diberi nasihat sedikit saja sudah takut.
Aku
tak memberi tanggapan. Kudengar saja kata-kata Pak Oka selanjutnya. Pada
pokoknya Pak Oka menghendaki agar aku menemui Komang di rumahnya. Pak Oka
sepertinya tidak menyalahkan aku. Sungguh-sungguhkah dia? Ah, persetan!
Betapapun baiknya penilaian Pak Oka kepadaku, tak membuat hatiku lega sebab aku
lebih mengetahui apa yang telah kuperbuat.
***
Hingga
sore hari tak mampu kutenangkan diri. Haruskah kuturuti anjuran Pak Oka untuk
datang ke rumah si keparat cilik Komang? Perlukah aku membanting harga diriku
sedemikian rupa di depan muridku sendiri? Tapi…apakah sesungguhnya ‘harga diri’
yang sedang kuperjuangkan ini? Keangkuhankah…atau justru kerendahan hati?
Memang, jika aku sedikit mengalah, mengakui semua kesalahan, pasti aku
dimaafkan; lantas kesalahan guru yang memang bukan manusia sempurna ini
dianggap wajar. Sebaliknya jika aku bertahan, dalam waktu singkat bisa saja aku
menjadi buah bibir orang sedesa. Perilakuku bisa menjadi topik hangat,
perbuatan yang tak pantas dilakukan oleh seorang guru : menghukum murid yang
tak bersalah, merobek buku yang dengan susah payah dicari anak, dan mungkin
akan dibumbui dengan cerita isapan jempol yang lebih menyudutkan martabatku.
Tapi…tidak! Aku tak mau menuruti kata hatiku. Bagaimanapun Komang-lah yang
harus datang meminta maaf.
Selagi
menimbang-nimbang, terdengar langkah-langkah kaki di halaman. Sesaat kemudian
di depan pintu yang kubiarkan terbuka berdiri seorang ibu dengan bayi yang
melekat di dadanya.
“Maap
Ibu guru, tiang memene Komang,” ucapnya dengan logat Bali yang kentara.
“Oh,
silakan…mari…mari….” Sambutku gugup.
“Pohon
pisang di kebun berbuah, Bu guru,” ucapnya sambil menyodorkan pisang yang
dibawanya. Aku tidak buru-buru mengulurkan tangan. Mataku waspada. Ia pun
kemudian meletakkan pisang itu di atas meja.
“Mana
Komang?”
“Eh…dia
menunggu di halaman, Bu. Tiang datang untuk memintakan maaf anak tiang.”
“Kenapa
Ibu yang minta maaf? Komang sudah besar, sudah kelas dua SMP. Biarkan dia
menyelesaikan masalahnya sendiri!” ujarku memojokkan. Aduuuh…dalam hati kukutuk
diri sendiri. Mengapa lagi-lagi kalimat tak bersahabat yang keluar dari mulutku?
Apa yang harus diselesaikan Komang? Aku yang bersalah, mestinya aku yang
menyelesaikan. Ah… ah… diamlah hatiku…diamlah! Aku guru, Komang murid. Itu saja
soalnya.
“Oh,
kalau begitu tiang panggil dulu anak tiang,” jawan Ibu Komang
sambil tergopoh ke luar. Agaknya Komang tidak mau menemuiku. Kulihat ibunya
menarik-narik lengannya, menyeret-nyeret, lalu mengata-ngatai Komang dengan
emosi. Aku melihat adegan itu dari pintu yang terbuka dengan hati tersinggung.
Jadi Komang tak mau meminta maaf. Baik! Aku pun bisa bersikap sangat keras
terhadapnya. Pisang di atas meja kusambar, dengan perasaan tak sepenuhnya sadar
kulempar dalam ledakan amarah.
“Sudah,
Bu. Tak perlu dipaksa! Kalau dia tak maiau minta maaf, biarkan saja. Saya juga
tak butuh permintaan maaf kok! Kalau tidak terima, adukan pada kepala
sekolah, silakan! Saya tidak takut!”
Sambil
tak henti mengomel dan mengumpat, pintu kubanting dengan sangat keras.
Berikutnya masih terdengar kata-kata Ibu Komang, sesaat kemudian pintu
diketuk-ketuk. Aku bergeming, tak sudi membuka pintu lagi. Tubuhku lemas,
tetapi dada bergemuruh. Aku jatuh terduduk, sekuat tenaga menahan tangis agar
tak terdengar oleh Komang dan ibunya yang aku yakin masih di luar. Aku bingung!
Rasanya tak kukenal lagi diriku sendiri, yang mengidamkan kebaikan, namun
terus-menerus melakukan hal yang buruk. Kupaksakan diri untuk berdiri. Dengan
lunglai masuk ke kamar, merebahkan diri dalam penyesalan yang tak
tertanggungkan.
Sampai
jauh lewat tengah malam aku tak bisa tidur. Alangkah memalukan perbuatanku.
Barangkali inilah akhir perjalananku sebagai guru. Aku telah gagal! Dengan rasa
kecut harus kuakui bahwa aku tidak pantas menyandang gelar yang diberikan
dengan penuh hormat dan cinta pada profesi guru : Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.
Tidak! Aku bukan pahlawan itu! Telah kukotori profesi agung ini dengan
karakterku, dengan motivasiku yang keliru saat memilih pekerjaan ini. Mungkin
aku membutuhkan waktu untuk berhenti sejenak, ‘berkaca’ kembali, bertanya pada
cermin hatiku mengenai kemurnian panggilan hidupku. Aku butuh waktu untuk
berdialog dengan diri sendiri. Jika ternyata aku tidak benar-benar terpanggil
untuk pekerjaan ini, baiklah aku mengundurkan diri sebelum menjadi korban dan
menjatuhkan korban. Aku harus berani. Ya, besok akan kutemui Pak Oka, lalu ke
Denpasar menemui ketua yayasan, minta cuti. Semoga baik kesudahannya.
Dhenok
Kristianti
Dimuat
di majalah Kartini no.509