Sunday, September 25, 2016

PANGGUNG BONEKA

Oleh: Fery Dwi Noviyanto, S. Pd, M. Pd

Apa sih panggung boneka itu? 

Panggung boneka merupakan suatu tempat yang digunakan untuk mementaskan atau menampilkan suatu cerita dengan tokoh-tokoh boneka yang memerankannya. Panggung boneka dapat dikategorikan dalam dua jenis, yakni panggung boneka dua dimensi dan panggung boneka tiga dimensi (Soekanto, 2002 dalam Musfiroh, 2008:130).
Panggung tiga dimensi yaitu panggung yang mempunyai ruang untuk pementasan cerita boneka, yang dapat dibuat dari kardus atau kayu. Panggung ini dapat dihiasi dengan pohon tiruan, rumah-rumahan dan jalan tiruan. Semua komponen panggung dapat dilihat dari arah depan, belakang, samping kanan dan kiri. Pada bagian belakang dapat digunakan sebagai latar pemadangan seperti bukit, gunung dan lain-lain.
Panggung tiga dimensi dilengkapi dengan latar terbuka yang berfungsi sebagai tempat pengendali boneka. Panggung tiga dimensi baik digunakan untuk boneka tangan atau boneka gantung.

Apa yang dibutuhkan dalam menampilkan panggung boneka
Ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan dalam menampilkan sebuah panggung boneka, di antaranya:


      Panggung
Panggung merupakan komponen utama yang harus disiapkan sebelum mempertontonkan panggung boneka. 

Panggung 
sumber: www.cumicumi.com




      Boneka
Terdapat beberapa jenis  boneka yang bisa digunakan untuk menyajikan panggung boneka, di antaranya:

Boneka Kertas
Sumber: www.google.com

Boneka Tangan 
Sumber: www.google.com



Boneka  Gantung 
Sumber: www.google.com


Wayang Bayangan 
Sumber: www.google.com


Efek suara
Hal yang tidak kalah penting dalam sebuah pertunjukan panggung boneka yaitu efek suara, baik nyanyian maupun suara – suara tambahan yang dapat membuat penonton berimajinasi lebih dalam. Contoh efek suara yang sering dibutuhkan yaitu suara hewan, suara angin, nyanyian dan lain – lain.


 Dialog
Dialog adalah percakapan antara 2 orang atau lebih, atau dialog dapat diartikan juga sebagai komunikasi yang mendalam yang mempunyai tingkat dan kualitas yang tinggi yang mencangkup kemampuan untuk mendengarkan dan juga saling berbagi pandangan satu sama lain.

      Background
Background yaitu penataan atau dekorasi panggung yang disesuaikan dengan latar cerita yang dibutuhkan. 

Background / Latar Pemandangan 


 Kreativitas
Kreativitas yaitu kemampuan seseorang untuk menciptakan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata. Sekolah Ciputra memiliki semboyan entrepreneurship dalam jiwa warga sekolahnya. Salah satunya dengan berkreasi dengan mengandalkan daya kreatifitas yang tinggi maka kita dapat menggali inovasi – inovasi terbaru dalam mengakomodir kreativitas kita. Sehingga semangat entrepreneurship dapat dimunculkan sebagai suatu tampilan pertunjukan yang baik dan interaktif.



 Imajinasi
Imajinasi yaitu  1) daya pikir untuk membayangkan (dalam angan-angan) atau menciptakan gambar (lukisan, karangan, dan sebagainya) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang; 2) khayalan. Imajinasi dalam sebuah karya sangat dibutuhkan dalam mencapai tujuan pembuatan karya yaitu keindahan.



Tata Cahaya
Tata cahaya adalah seni pengaturan cahaya dengan mempergunakan peralatan pencahayaan agar kamera mampu melihat obyek dengan jelas, dan menciptakan ilusi sehingga penonton mendapatkan kesan adanya jarak, ruang, waktu dan suasana dari suatu kejadian yang dipertunjukkan dalam suatu pementasan.


Unsur Intrinsik  dan Unsur Ekstrinsik 


Sumber : www.google.co.id

Bagaimana Penampilan Panggung Boneka yang Baik?

Panggung Boneka yang baik yaitu:
  1. Memiliki target penonton yang sesuai 
  2. Bahasa yang digunakan komunikatif 
  3. Topik yang dibicarakan isu - isu hangat
  4. Boneka yang dimainkan harus berkarakter
  5. Tata cahaya, suara dan jalan cerita saling mendukung satu sama lain. 
  6. Memiliki pesan moral yang baik

Daftar Pustaka 

Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik.2014. Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Kosasih, Engkos.2013. Cerdas Berbahasa Indonesia untuk SMA/ MA Kelas X kelompok Wajib, Jakarta: Penerbit Erlangga
Setiarini, Indah Wukir. Artini, M.G. Santi. Cakap Berbahasa Indonesia Kelas X SMA. Bogor : Yudhistira
ejournal.unesa.ac.id/article/3389/19/article.pdf- diunduh tanggal 11/8/2016 pada jam 10.00

Friday, September 16, 2016

TEKS ANEKDOT Ditulis oleh: Fery Dwi Noviyanto, S. Pd, M. Pd

TEKS ANEKDOT 

Ditulis oleh: Fery Dwi Noviyanto, S. Pd, M. Pd

A. Definisi 

     Teks anekdot  yaitu suatu cerita pendek yang bersifat lucu, akan tetapi mengandung/         memiliki  maksud untuk mengritik. 

B. Karakteristik

  • Mengandung sindiran 
  • Mengandung unsur kelucuan 
  • Memiliki metafora
  • Memiliki tokoh yang faktual 
  • Sarat akan pesan moral 

C. Struktur Teks Anekdot

    Abstraksi: bagian awal paragraf yang berfungsi untuk memberikan gambaran yang jelas tentang isi teks anakdot tersebut. Dalam cerita rekaan berisi ringkasan cerita.
    Orientasi: suasana awal kejadian cerita. Dalam cerita rekaan bisa berisi pengenalan tokoh, pengenalan konflik, atau pengenalan latar.
     Krisis  :   masalah utama yang ada di dalam suatu teks anekdot/permuculan masalah. Krisis dalam cerita rekaan disebut komplikasi yang biasanya isinya mencakup muncul konflik, peningkatan konflik, dan puncak konflik.
    Reaksi  :    cara menyelesaikan masalah yang timbul dalam krisis. Reaksi dalam cerita rekaan disebut  Evaluasi.
      Koda  :           bagian akhir anekdot  yang menyuarakan pesan moral penulis atas konflik yang terjadi.


D. Unsur Intrinsik

a. Tema

Tema adalah ruh atau nyawa dari setiap karya cerpen itu sendiri. Tema inilah yang akan menentukan konflik dan menjadi ide dasar pengembangan dari seluruh isi cerita pendek. Tema memiliki sifat umum dan general. Seperti contoh; Pendidikan, romansa, persahabatan dan lain-lain.
b. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan adalah dua hal yang berbeda dalam penulisan cerpen. Tokoh merupakan pemain atau orang-orang yang terlibat di dalam cerita tersebut. Sedangkan penokohan adalah penentuan watak atau sifat tokoh yang ada di dalam cerita.
Ada 3 jenis tokoh yang ditampilkan di dalam cerpen, diantaranya:
Antagonis: Tokoh yang biasanya berperan sebagai tokoh jahat. Tokoh ini akan terlibat konflik  dengan sang tokoh utama di dalam cerita. Tokoh antagonis memiliki watak yang negatif seperti: sombong, angkuh, jahat dan lain-lain.
Protagonis: Tokoh ini adalah tokoh yang membintangi cerpen tersebut (tokoh utama) tokoh ini biasanya berprilaku baik.
Tritagonis: Tokoh ini merupakan tokoh pembantu protagonis dan yang nantinya akan menjadi penengah konflik antara antagonis dan protagonis. Tokoh ini biasanya memiliki sifat penolong dan bijaksana.

c. Alur (Plot)
Alur adalah urutan jalan cerita dalam cerpen yang di sampaikan oleh penulis. Dalam menyampaikan cerita, ada tahapan-tahapan alur yang disampaikan oleh sang penulis. Diataranya:
  1. Tahap perkenalan.
  2. Tahap penanjakan.
  3. Tahap klimaks.
  4. Anti klimaks
  5. Tahap penyelesaian.
Tahap-tahap alur tersebut harus ada dalam sebuah cerita. Tujuannya adalah agar cerita itu tak membingungkan sang pembaca. Ada 2 jenis alur yang biasanya digunakan oleh para penulis, yaitu:
Alur maju: Alur ini menceritakan jalan cerita yang urut dari awal perkenalan tokoh, situasi lalu memunculkan masalah hingga puncak masalah dan terakhir penyelesaian masalah. Jadi intinya, pada alur maju ditemukan jalan cerita yang urut seseuai dengan tahapan-tahapannya.
Alur mundur: Di alur ini, penulis menceritakan jalan cerita secara tidak urut. Bisa saja penulis menceritakan konflik terlebih dahulu, lalu kemudian menengok kembali peristiwa yang menjadi sebab konflik itu terjadi.
d. Latar
Latar mengacu pada suasana, waktu dan tempat terjadinya cerita tersebut. Latar akan memberikan kesan konkret pada suatu cerita pendek. Ada 3 jenis latar dalam sebuah cerpen yakni latar waktu, tempat dan suasana.
e. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah strategi yang digunakan oleh pengarang cerpen untuk menyampaikan ceritanya. Entah itu sebagai orang pertama, kedua, ketiga. Bahkan ada beberapa penulis yang menggunakan sudut pandang orang yang berada di luar cerita.

g. Amanat

Amanat (Moral value) adalah pesan moral yang bisa kita ambil dari cerita tersebut. Di dalam sebuah cerpen, moral biasanya tidak disebutkan secara tertulis melainkan tersirat dan akan bergantung pada pemahaman pembaca akan cerita tersebut. Amanat tersurat bisa langsung  diambil dari ceritanya. Akan tetapi jika amanatnya tersirat bisa dijelaskan seperti apa yang kamu bayangkan dalam cerita tersebut. 

E. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur cerpen yang berada diluar karya sastra. Akan tetapi, secara tidak langsung unsur ini mempengaruhi proses pembuatan suatu cerpen. Unsur ekstrinsik cerpen antara lain:
  • Latar belakang penciptaan: Latar belakang ini berkaitan dengan tujuan karya sastra cerpen itu dibuat.
  • Latar belakang sejarah pengarang: Unsur ini berkaitan dengan kondisi sosial sang penulis.
  • Kondisi masyarakat: Hal-hal yang berkaitan dengan kondisi masyarakat ketika cerpen atau karya sastra itu dibuat.
  • Unsur psikologis: Unsur ini berkaitan dengan psikologis sang penulis.
  • Nilai Sosial : Kaitannya dengan hubungan antar manusia.


  • Nilai Psikologis : Kaitannya dengan kejiwaan / psikologis manusia.
  •  Nilai Perjuangan : Kaitannya dengan hal – hal perjuangan manusia.
  • Nilai Ekonomi : Kaitannya dengan perdagangan, status ekonomi / permasalahan – permasalahan ekonomi masyarakat.
  • Nilai Budaya : Kaitannya dengan budaya / kebiasaan / tradisi yang berlangsung di dalam masyarakat.
  •  Nilai Hukum : Kaitannya dengan permasalahan hukum.
  •  Nilai Pendidikan ( edukatif ) : Kaitannya dengan permasalahan – permasalahan pendidikan manusia.
  •  Nilai Moral ( etika ) : Kaitannya dengan moral perilaku manusia.
  • Nilai Historia ( kesejarahan ) : Kaitannya dengan peristiwa – peristiwa sejarah.
  • Nilai Filosofis : Kaitannya dengan filsafat dalam kehidupan manusia.
  • Nilai Religius ( keagamaan ) : Kaitannya dengan hal – hal keagamaan

F. Unsur Kebahasaan 

1)   Interjeksi
Interjeksi atau kata seru adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa hati pembicara. Untuk memerkuat rasa hati seperti rasa kagum, sedih, heran, dan jijik, orang memakai kata tertentu di samping kalimat yang mengandung maksud pokok.
Di bawah ini diberikan bebrapa jenis interjeksi dan contohnya.
a)    Interjeksi kejijikan
Contoh: bah, cih, cis, ih, idih
b)    Interjeksi kekesalan atau kecewa
Contoh: sialan, celaka
c)    Interjeksi kekaguman atau kepuasan
Contoh: aduh (duh), aduhai, amboi, asyik, wah
d)    Interjeksi  kesyukuran
Contoh:  syukur, untung

2)   Kata Kerja
Kata kerja adalah kata  yang menunjukkan suatu kerja atau perbuatan, misalnya: berjalan, makan, berolahraga, menulis, dan menyapu.
Kata kerja dibedakan menjadi 2:
Kata kerja transitif: memerlukan, menyeterika, membangun, dll.
Kata kerja intransitif: terdiam, datang, hadir, dll.

3)   Frasa Kerja
Frasa kerja adalah frasa yang unsur intinya berupa kata kerja, sedang unsur lainnya merupakan atribut.
Contoh : sedang diperiksa, belum datang, sudah selesai, dll. 




Contoh Teks Anekdot : 

Cara Keledai Membaca Buku 
Alkisah, Timur Lenk menghadiahi Nasrudin seekor keledai. Nasrudin menerimanya dengan senang hati.

Tetapi Timur Lenk memberi syarat, Ajari terlebih dahulu keledai itu membaca. Dua minggu setelah sekarang, datanglah kembali kemari, dan kita lihat apa yang akan terjadi.

Nasrudin berlalu, sambil menuntun keledai itu ia memikirkan apa yang akan diperbuat. Jika dapat mengajari keledai itu membaca, tentu ia akan menerima hadiah, namun jika tidak, hukuman pasti akan ditimpakan kepadanya.

Dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar agar Nasrudin segera mempraktekkan apa yang telah ia lakukan. Nasrudin lalu menggiring keledainya menghadap ke arah buku tersebut, dan membuka sampulnya.

Si keledai menatap buku itu. Dan ajaib!! Tak lama kemudian Si Keledai mulai membuka-buka buku itu dengan lidahnya. Terus menerus, lembar demi lembar hingga halaman terakhir. Setelah itu, si keledai menatap Nasrudin seolah berkata ia telah membaca seluruh isi bukunya.


Demikianlah, kata Nasrudin, Keledaiku sudah membaca semua lembar bukunya. Timur Lenk merasa ada yang tidak beres dan mulai menginterogasi, Bagaimana caramu mengajari dia membaca ...?

Nasrudin berkisah, Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halaman untuk bisa makan biji-biji itu, kalu tidak ditemukan biji gandumnya ia harus membalik halaman berikutnya. Dan itu ia lakukan terus sampai ia terlatih membalik - balik halaman buku itu.

Tapi, bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya? tukas Timur Lenk. Nasrudin menjawab, Memang demikianlah cara keledai membaca, hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya.

Jadi kalau kita juga membuka - buka buku tanpa mengerti isinya, berarti kita sebodoh keledai, bukan? kata Nashrudin dengan mimik serius. 

Dikutip dari: Buku Kurtilas Bahasa Indonesia Kelas X Revisi 2016

TEKS CERPEN Ditulis oleh: Fery Dwi Noviyanto, S. Pd, M. Pd

TEKS CERPEN 

Ditulis oleh: Fery Dwi Noviyanto, S. Pd, M. Pd




A. Definisi Cerpen 

Cerpen merupakan cerita yang artinya tuturan tentang bagaimana terjadinya sesuatu hal dan pendek berarti kisah yang diceritakan pendek (tidak lebih dari 10.000 kata) yang memberikan kesan dominan dan memusatkan hanya pada satu tokoh saja dalam ceritanya. Cerpen sendiri bisa dibuat berdasarkan cerita nyata maupun hanya sesuai dengan imajinasi penulisnya. 

B. Struktur Teks Cerpen 

Teks cerpen bisa ditulis secara naratif maupun deskriptif: 

Teks narasi :

  1. Abstrak – merupakan ringkasan ataupun inti dari cerita yang akan dikembangkan menjadi rangkaian-rangkaian peristiwa atau bisa juga gambaran awal dalam cerita. Abstrak bersifat opsional yang artinya sebuah teks cerpen boleh tidak memakai abstrak.
  2. Orientasi – adalah yang berkaitan dengan waktu, suasana, maupun tempat yang berkaitan dengan cerpen tersebut.
  3. Komplikasi – Ini berisi urutan kejadian-kejadian yang dihubungkan secara sebab dan akibat, pada struktur ini kamu bisa mendapatkan karakter ataupun watak dari tokoh cerita sebab kerumitan mulai bermunculan.
  4. Evaluasi – Yaitu struktur konflik yang terjadi yang mengarah pada klimaks mulai mendapatkan penyelesainya dari konflik tersebut.
  5. Resolusi – Pada struktur bagian ini si pengarang mengungkapkan solusi yang dialami tokoh atau pelaku.
  6. Koda – Ini merupakan nilai ataupun pelajaran yang dapat diambil dari suatu teks ceriita oleh pembacanya.

Deskripsi 



  1. Identifikasi, merupakan penentu (penetap) identitas seseorang, benda, dan sebagainya.
  2. Klasifikasi, merupakan penyusunan bersistem dalam kelompok menurut kaidah atau standar yang telah ditetapkan.
  3. Deskripsi bagian, merupakan bagian teks yang berisi tentang gambaran-gambaran bagian di dalam teks tersebut.

C. Unsur Kebahasaan Cerpen 

(a) Majas

      Majas dalam KBBI yaitu cara melukiskan sesuatu dengan jalan menyamakannya dengan          sesuatu yang lain; kiasan
     (1) Majas Litotes :Pengungkapan yang bertujuan merendahkan diri
          Contoh: Mampirlah ke gubug kami( padahal rumahnya mewah dan besar)
     (2) Majas Hiperbola: Membesar - besarkan masalah
          Contoh: Kita berjuang sampai titik darah penghabisan
     (3) Majas Personifikasi : Pengungkapan benda mati menjadi benda hidup
          Contoh: Rumput melambai - lambai memanggilku
     (4) Majas Simile : pengungkapan perbandingan eksplisit/ pengibaratan 
           Contoh: ibarat, bagaikan, umpama, layaknya, dll.

     (5) Majas Metafora : pengungkapan perbandingan dengan sesuatu hal yang hampir                   sama. 
          Contoh: Raja siang sudah terlihat di ufuk timur. 


(b) Ungkapan/ Idiom

      Idiom merupakan ungkapan atau ekspresi tetap yang memiliki makna kiasan, atau kadang-      kadang literal. 
     Contoh Idiom:
     
  • Banting tulang : kerja keras
  • Gulung tikar : bangkrut
  • Angkat kaki : pergi
  • Naik pitam : marah
  • Buah bibir : topik pembicaraan
  • Angkat tangan : menyerah
  • Meja hijau : pengadilan
  • Buah tangan : oleh-oleh
  • Kutu buku : orang yg suka baca buku
  • Kepala dingin : tenang
  • Jago merah : api kebakaran
  • Bunga tidur : mimpi
  • Bunga desa : gadis desa
  • Panjang tangan : suka mencuri
  • Tinggi hati : sombong

(c) Peribahasa

      Sebuah tuturan yang terangkai menjadi suatu kalimat kiasan. 
      Contoh: 
      1.  Menang  jadi arang, kalah jadi abu
      2. Bagaikan abu di atas tanggul. 
      3. Bagai cebol merindukan bulan. 
      4. Air beriak tanda tak dalam
      5. Tong kosong nyaring bunyinya


D.  Unsur Intrinsik 

a. Tema

Tema adalah ruh atau nyawa dari setiap karya cerpen itu sendiri. Tema inilah yang akan menentukan konflik dan menjadi ide dasar pengembangan dari seluruh isi cerita pendek. Tema memiliki sifat umum dan general. Seperti contoh; Pendidikan, romansa, persahabatan dan lain-lain.
b. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan adalah dua hal yang berbeda dalam penulisan cerpen. Tokoh merupakan pemain atau orang-orang yang terlibat di dalam cerita tersebut. Sedangkan penokohan adalah penentuan watak atau sifat tokoh yang ada di dalam cerita.
Ada 3 jenis tokoh yang ditampilkan di dalam cerpen, diantaranya:
Antagonis: Tokoh yang biasanya berperan sebagai tokoh jahat. Tokoh ini akan terlibat konflik  dengan sang tokoh utama di dalam cerita. Tokoh antagonis memiliki watak yang negatif seperti: sombong, angkuh, jahat dan lain-lain.
Protagonis: Tokoh ini adalah tokoh yang membintangi cerpen tersebut (tokoh utama) tokoh ini biasanya berprilaku baik.
Tritagonis: Tokoh ini merupakan tokoh pembantu protagonis dan yang nantinya akan menjadi penengah konflik antara antagonis dan protagonis. Tokoh ini biasanya memiliki sifat penolong dan bijaksana.
Penokohan watak dari 3 tokoh diatas akan disampaikan oleh penulis dengan 2 cara diantaranya:
  1. Analitik, yaitu proses penyampaian watak tokoh dengan cara disampaikan langsung oleh penulis.
  2. Dramatik, yaitu penokohan yang tersirat. Biasanya disampaikan melalui tingkah laku si tokoh dalam cerita.
  •  Penggambaran Tokoh Karakter Dalam Cerita Dengan Paragraf Deskripsi


1.     Penggambaran Langsung Tokoh :
Ayu adalah gadis hitam manis yang lembut dan ramah juga memiliki ukuran tubuh yang lebih mungil dari teman-teman sebayanya ini, memiliki banyak teman dan salah satunya adalah Lisa, yang merasa sangat nyaman berteman dengan Ayu karena menurutnya, Ayu adalah teman yang baik untuknya.



2.     Penggambaran Fisik dan Perilaku :
Vania sangat heran mendengar pernyataan teman-temannya yang mengatakan bahwa anak baru yang bernama Alex adalah cowok yang paling perfect di sekolahnya. Memang, Vania juga mengakui bahwa Alex memiliki wajah tampan dengan rahang yang tegas, kulit putih, bertubuh atletis dan juga mata yang indah, namun perilakunya yang tidak mau saling bertegur sapa kepada siapa saja yang lewat dihadapannya membuat Vania membenci Alex.



3.     Penggambaran Karakter dari Lingkungan :
Lisa dan Ayu mendapatkan nilai 10 besar, sehingga mereka berdua masuk dalam kelas 1A. Kelas 1A merupakan kelas yang dihuni oleh siswa-siswi yang berprestasi dan mendapatkan nilai ujian 40 terbaik, kelas 1B diduduki oleh siswa-siswi 41-80 terbaik dan kelas 1C diisi oleh siswa siswi yang menempati peringkat 80-120.



  • Penggambaran Tokoh Karakter Dalam Cerita Dengan Paragraf Narasi


1.     Penggambaran Tokoh dari Ketatabahasaan :
“Heh,, dasar gak punya otak lo!! Lo pikir dengan lu pake kerudung terus gue bisa langsung maafin elo, hah?? Gak segampang itu Al. Sampe lu nangis darah pun gue nggak akan maafin lo Alya! Inget itu!!”



2.     Penggambaran Tokoh oleh Tokoh lain :
“Ya ampun, Aga!! coba lu liat ke sana deh!! Itu kan Alfri. Teryata bener ya, kata cewek-cewek di sekolah ini kalo ketua kelas IPA1 yang baru itu ternyata ganteng dan ramah banget ya! Tuh,, liat deh! dia senyum ke arah kita!!” ucap Crishtine semangat.



3.     Penggambaran Tokoh dari Jalan Pikiran yang Dikemukakan oleh Penulis :
“Mungkin yang lo rasain bukan pengin punya cowok Joy, tapi perasaan ingin dicintai, ingin berharga buat orang lain dan ingin merasa kita cantik.” Wening menerawang dengan wajah penuh arti sekaligus begitu teduh.

c. Alur (Plot)
Alur adalah urutan jalan cerita dalam cerpen yang di sampaikan oleh penulis. Dalam menyampaikan cerita, ada tahapan-tahapan alur yang disampaikan oleh sang penulis. Diataranya:
  1. Tahap perkenalan.
  2. Tahap penanjakan.
  3. Tahap klimaks.
  4. Anti klimaks
  5. Tahap penyelesaian.
Tahap-tahap alur tersebut harus ada dalam sebuah cerita. Tujuannya adalah agar cerita itu tak membingungkan sang pembaca. Ada 2 jenis alur yang biasanya digunakan oleh para penulis, yaitu:
Alur maju: Alur ini menceritakan jalan cerita yang urut dari awal perkenalan tokoh, situasi lalu memunculkan masalah hingga puncak masalah dan terakhir penyelesaian masalah. Jadi intinya, pada alur maju ditemukan jalan cerita yang urut seseuai dengan tahapan-tahapannya.
Alur mundur: Di alur ini, penulis menceritakan jalan cerita secara tidak urut. Bisa saja penulis menceritakan konflik terlebih dahulu, lalu kemudian menengok kembali peristiwa yang menjadi sebab konflik itu terjadi.
d. Latar
Latar mengacu pada suasana, waktu dan tempat terjadinya cerita tersebut. Latar akan memberikan kesan konkret pada suatu cerita pendek. Ada 3 jenis latar dalam sebuah cerpen yakni latar waktu, tempat dan suasana.
e. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah strategi yang digunakan oleh pengarang cerpen untuk menyampaikan ceritanya. Entah itu sebagai orang pertama, kedua, ketiga. Bahkan ada beberapa penulis yang menggunakan sudut pandang orang yang berada di luar cerita.
f. Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah ciri khas sang penulis dalam menyampaikan tulisanya kepada publik. Entah itu penggunaan diksinya, majas dan pemilihan kalimat yang tepat di dalam cerpennya.

g. Amanat

Amanat (Moral value) adalah pesan moral yang bisa kita ambil dari cerita tersebut. Di dalam sebuah cerpen, moral biasanya tidak disebutkan secara tertulis melainkan tersirat dan akan bergantung pada pemahaman pembaca akan cerita tersebut. Amanat tersurat bisa langsung  diambil dari ceritanya. Akan tetapi jika amanatnya tersirat bisa dijelaskan seperti apa yang kamu bayangkan dalam cerita tersebut. 

E. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur cerpen yang berada diluar karya sastra. Akan tetapi, secara tidak langsung unsur ini mempengaruhi proses pembuatan suatu cerpen. Unsur ekstrinsik cerpen antara lain:
  • Latar belakang penciptaan: Latar belakang ini berkaitan dengan tujuan karya sastra cerpen itu dibuat.
  • Latar belakang sejarah pengarang: Unsur ini berkaitan dengan kondisi sosial sang penulis.
  • Kondisi masyarakat: Hal-hal yang berkaitan dengan kondisi masyarakat ketika cerpen atau karya sastra itu dibuat.
  • Unsur psikologis: Unsur ini berkaitan dengan psikologis sang penulis.
  • Nilai Sosial : Kaitannya dengan hubungan antar manusia.

  • Nilai Psikologis : Kaitannya dengan kejiwaan / psikologis manusia.
  •  Nilai Perjuangan : Kaitannya dengan hal – hal perjuangan manusia.
  • Nilai Ekonomi : Kaitannya dengan perdagangan, status ekonomi / permasalahan – permasalahan ekonomi masyarakat.
  • Nilai Budaya : Kaitannya dengan budaya / kebiasaan / tradisi yang berlangsung di dalam masyarakat.
  •  Nilai Hukum : Kaitannya dengan permasalahan hukum.
  •  Nilai Pendidikan ( edukatif ) : Kaitannya dengan permasalahan – permasalahan pendidikan manusia.
  •  Nilai Moral ( etika ) : Kaitannya dengan moral perilaku manusia.
  • Nilai Historia ( kesejarahan ) : Kaitannya dengan peristiwa – peristiwa sejarah.
  • Nilai Filosofis : Kaitannya dengan filsafat dalam kehidupan manusia.
  • Nilai Religius ( keagamaan ) : Kaitannya dengan hal – hal keagamaan.

F. Jenis - jenis Cerpen

Jenis-jenis cerpen berdasarkan jumlah katanya :
1. Cerpen mini (flash), cerpen dengan jumlah kata antara 750-1.000 buah.
2. Cerpen yang ideal, cerpen dengan jumlah kata antara 3.000-4000 buah.
3. Cerpen panjang, cerpen yang jumlah katanya mencapai angka 10.000 buah.

Jenis - jenis cerpen berdasarkan teknik mengarangnya:
1. Cerpen sempurna (well made short-story), cerpen yang terfokus pada satu tema dengan plot yang sangat jelas, dan ending yang mudah dipahami. Cerpen jenis ini pada umumnya bersifat konvensional dan berdasar pada realitas (fakta). Cerpen jenis ini biasanya enak dibaca dan mudah dipahami isinya. Pembaca awam bisa membacanya dalam tempo kurang dari satu jam

2. Cerpen tak utuh (slice of life short-story), cerpen yang tidak terfokus pada satu tema (temanya terpencar-pencar), plot (alurnya) tidak terstruktur, dan kadang-kadang dibuat mengambang oleh cerpenisnya. Cerpen jenis ini pada umumnya bersifat kontemporer, dan ditulis berdasarkan ide-ide atau gagasan-gagasan yang orisinal, sehingga lajim disebut sebagai cerpen ide (cerpen gagasan). Cerpen jenis ini sulit sekali dipahami oleh para pembaca awam sastra, harus dibaca berulang kali baru dapat dipahami sebagaimana mestinya. Para pembaca awam sastra menyebutnya cerpen kental atau cerpen berat.

Jenis - jenis cerpen berdasarkan alirannya
  • Realis

Cerpen realis adalah cerpen yang menggambar sesuatu apa adanya, seperti sesungguhnya. Cerita cerpen realis akan berkutat pada cerita sehari-hari. Pengarang cerpen melukiskan apa adanya, tidak memihak dan mengesampingkan prasangka atau pandangannya sendiri.
  • Surealis

Cerpen surealis adalah kebalikan dari cerpen realis. Surealis berhubungan dengan dunia mimpi. Dunia angan-angan. Dunia mistis. Dunia yang berbeda dengan dunia nyata. Dalam cerpen-cerpen surealis, benda mati dapat berbicara. Bayangan dapat melakukan sesuatu dan segala macamnya.  Namun meskipun demikian, pengarang tidak memaksakan pandangannya, penafsiran diserahkan kepada pembaca.
  • Idealis

Cerpen idealis adalah cerpen yang sarat akan pandangan penulis. Di dalamnya terdapat cita-cita penulis yang diadopsi oleh tokoh-tokoh cerita. Penulis cerpen idealis memiliki pandangan tersendiri mengenai hari ini atau sesuatu yang jauh di masa depan, dan ia berusaha menggiring pembaca pada pandangannya itu.
  • Romantis

Cerpen romantis adalah cerpen yang mengutamakan perasaan. Bisa hubungan antara sepasang manusia maupun hubungan-hubungan lain. Penulisan cerpen romantis mengutamakan pilihan bahasa yang indah demi menunjang romantisme ceritanya.
  • Ekspresionis

Cerpen ekspresionis berkaitan dengan ekspresi pengarang terhadap sesuatu.

G. Contoh Cerpen: 

MUTASI
(Kado buat rekan guru di Hari Pendidikan Nasional)

                Ada perasaan bersalah yang menuduhku sepanjang hari ini. Keterlaluan memang sikapku tadi di sekolah. Sebenarnya kesalahan Komang tak seberapa, terlebih aku yakin ia tak sengaja. Bahkan secara jujur kuakui, aku pun ikut bersalah dalam peristiwa sepele itu.
Seperti biasa, sejak dimutasikan oleh yayasan pusat mengajar di desa kecil ini, aku masuk kelas tanpa minat. Melihat wajah para siswa yang sebagian besar legam terbakar matahari, serta seragam mereka yang tak bisa disebut bersih, rontoklah semangatku. Lantas seperti biasa aku menjelaskan pelajaran sekedarnya. Tak kupedulikan apakah anak-anak memahami penjelasanku, yang penting kewajiban sudah kujalankan. Tanpa kuberi kesempatan bertanya, kusuruh mereka mencatat.
“Siapa yang hari ini bertugas menulis di papan?” tanyaku dingin. Anak-anak diam. Mereka ini selalu saja bersikap takut-takut, malu-malu. Kuedarkan pandangan ke seluruh kelas dan kuulang pertanyaanku. Komang mengangkat tangan kemudian maju dengan langkah lamban.  Buku kuberikan kepadanya, tapi kemudian aku teringat ada bagian yang tak perlu dicatat. Segera kutarik kembali buku matematika di tangannya, namun rupanya Komang belum melepas pegangan. Kraaaakkk…! Robeklah bukuku.
Kalau saja peristiwa itu terjadi di Denpasar, di sekolah tempatku mengajar dulu, barangkali aku tidak marah. Toh hanya buku yang tak seberapa harganya. Tetapi di desa yang tidak menggairahkan ini apa saja bisa meledakkan amarahku. Jangankan buku robek. Kelas kurang bersih, ketidaksiapan siswa, baju yang lepas kancingnya, dan hal-hal kecil lainnya sudah cukup menjadi alasan bagiku untuk marah-marah. Begitulah, tadi pagi kumaki Komang habis-habisan. Makian yang sebenarnya tidak pada tempatnya dan tidak sepadan dengan kesalahannya. Ia pucat pasi, bahkan isak tangis yang berusaha ditahannya dapat kudengar. Air matanya bergulir-gulir di pipi dan merembes ke lehernya. Aku belum puas. Sungguh, mutasi yang ditimpakan yayasan kepadaku harus dibayar mahal. Bukan yayasan yang membayar, lembaga yang mau tak mau wajib kupatuhi keputusannya; melainkan anak didikku yang tak berdaya. Ya, anak didik yang sama sekali tak punya sangkutan dengan ikhwal mutasiku, kupaksa menelan pil pahit dari rasa frustrasiku.
“Jongkok dengan tangan ke atas!” perintahku pada Komang di akhir omelanku yang tidak patut. Tak ada guna melawan. Di sekolah desa seperti ini, guru tak perlu mengulang perintah. Komang menjalani hukuman, entah dengan perasaan apa. Yang jelas setelah bel ganti pelajaran berbunyi, saat kubebaskan Komang dari hukuman, saat anak itu kusuruh berdiri, dia malah jatuh terduduk. Tentu kaki dan tangannya pegal. Sudah pasti matanya berkunang-kunang waktu mencoba berdiri. Aku tak peduli. Dengan congkak kutinggalkan kelas tanpa menolongnya. Sebetulnya ada perasaan tak enak yang menggugat, tapi buru-buru kubungkam suara hatiku.
Salah siapa jika aku berubah drastis begini? Dulu aku adalah guru yang manis di Denpasar, tapi sekarang aku menjadi guru yang bengis di ujung desa Karangasem ini. Atas dasar apa yayasan memindahkan aku ke daerah keparat ini? Aku guru baik, pintar mengajar, semestinya dipertahankan di kota.
Begitulah, seperti hari-hari sebelumnya aku terus uring-uringan. Pangkal semua ini adalah mutasi yang tak kuharapkan. Mengapa aku? Mengapa harus aku yang dipindahkan? Pertanyaan itu terus mengganggu dan menyakitiku.  Alasan yang disampaikan yayasan bahwa Ibu Ida minta pindah karena mengikuti suami yang bertugas di Denpasar, sehingga aku yang belum berkeluarga ini dianggap cocok menggantikannya, sungguh tak bisa kupercaya. Alasan yang terlalu dicari-cari. Sentimen! Tapi alangkah malang aku ini, lengkap dengan sifat pengecut yang telanjur bercokol. Di depan ketua yayasan yang memberitahu perihal mutasi itu aku tidak protes, tidak bertanya apa pun, persis kambing congek. Aku bahkan berhasil memaksakan diri tersenyum dan mengangguk mantap. Ketua yayasan memujiku sebagai guru yang penuh dedikasi, guru teladan, guru yang mengerti betul panggilan sucinya, dan entah pujian apalagi yang kudengar. Aku tersenyum, mengobral sejumlah kata mutiara tentang pendidikan dan idealisme guru, sambil menekan rasa kecewa dan amarah yang menggelegak di dada. Munafik memang, tapi…begitulah aku.

***
Aku baru saja selesai mandi tatkala terdengar ketukan pintu. Siapa tamuku? Paling-paling Bu Susi, rekan guru yang kelewat gemuk dan murah senyum itu. Memang tidak jarang ia ke rumah, ngobrol tentang apa saja, terutama tentang murid-murid yang sangat dicintainya. Menurut Bu Susi, para siswa di desa ibaratnya bongkahan mutiara yang belum digosok. Jika mutiara itu jatuh ke tangan pendidik yang baik, suatu saat mereka akan mampu memancarkan cahaya berkilauan di tengah dunia yang makin pekat ini. Biasanya aku mengangguk-angguk saja menanggapi ceritanya. Tapi sore ini aku tidak ingin mendengar kehebatan si Made Karyati, atau besarnya rasa tanggung jawab Gede Dharma Putra. Kalau nanti Bu Susi yang sudah menjanda itu memperbincangkan mereka, akan kualihkan arah obrolan. Tapi… mampukah aku? Kepada murid yang tak berdaya, aku memang bisa berperan seperti singa. Tapi pada orang dewasa, biasanya sifat pengecutku muncul, menyetujui saja semua omongan orang meskipun dalam hati tidak sependapat.
Sambil mengeringkan rambut pintu kubuka. Surprise karena yang berdiri di depanku seorang remaja kurus dengan wajah memelas, Komang. Murid yang kuhukum tadi pagi. Sebenarnya saat ini adalah waktu yang tepat untuk menerima kehadirannya, lantas selesailah peristiwa tak enak tadi pagi di sekolah. Tapi…ya…Tuhan…melihat bocah ini merunduk takut dengan bibir bergetar, entah mengapa ada rasa puas menelusup di dadaku. Perasaan yang tak mudah kupahami ini selalu muncul saat orang lain terlihat tak berdaya di depanku. Detik berikutnya aku ingin Komang lebih ‘melata’. Ia harus sadar bahwa sebagai guru aku memiliki kekuasaan. Entah setan apa yang merasukku, tiba-tiba wajahku mengeras, dan remaja di depanku tak lebih baik nasibnya dari seekor tikus kecil di depan kucing besar.
“Untuk apa datang?! tanyaku ketus. Matahari senja yang memancarkan sinar jingga membuat wajahnya yang pias nampak sangat menderita.
“Saya…minta maaf,” ucapnya lirih. “Ini untuk mengganti buku mat…,” tambahnya gugup. Dalam hati aku kagum pada kesigapannya mencari buku pengganti. Di desa ini tak ada toko buku. Jadi pastilah Komang atau salah satu saudaranya bersusah payah ke kota. Bukan senang karena mendapat buku pengganti, aku malah tersinggung. Tanpa sepatah kata pun kurobek buku matematika di depan hidungnya, lantas kudorong tubuhnya yang kecil itu, dan kututup pintu dengan kasar. Blaaaammm!
Tubuhku terasa ringan bagai kapas. Rasanya aku tak menginjak bumi. Jangan disangka tidak ada perasaan bersalah yang menyergapku, terlebih setelah lewat jendela kulihat Komang terisak sambil melangkah pergi. Nuraniku terusik, tapi tak ada lagi gunanya. Aku masuk kamar, menelungkupkan wajah di bantal, dan terisak. Kenapa aku begini? Hati kecilku tidak membenci anak itu. Sebenarnya persoalan yang menekanku, yang membuatku ‘sakit’ seperti ini ada dalam diriku sendiri yang tak bisa menerima nasib menjadi guru di desa terpencil. Ya, Komang hanya sasaran. Dia hanyalah anak malang yang harus menanggung getah dari rasa frustrasiku. Aku malu, minder, dan menanggung perasaan-perasaan rendah diri lainnya gara-gara mutasi ini. Kecuali itu terus terang penghasilanku merosot drastis. Memang besaran gaji sama saja dengan di Denpasar, tapi di sana aku mempunyai banyak murid les. Uang yang kuperoleh dari memberi les bahkan lebih banyak daripada gaji resmi. Dengan uang itu aku bisa ikut membiayai kuliah adikku di Yogyakarta. Di desa ini, mana mungkin orang tua mengeleskan anaknya. Pak Suryawan, guru fisika yang baik itu seminggu sekali memberi pelajaran tambahan untuk anak-anak yang nilainya kurang memuaskan.  Itu dilakukan atas nama cinta, sama sekali tanpa bayaran! Ketika pertama kali aku mendengar hal itu, tidak dapat kusembunyikan keherananku. Bagaimana bisa seseorang bertahan dengan kebaikan semacam itu di zaman yang mendudukkan materi di urutan teratas dari seluruh kebutuhan manusia? Tapi di desa ini aku menyaksikan kenyataan lain.  Aku bertambah heran saat kuketahui tak hanya Pak Surya yang melakukan hal itu. Juga Bu Susi, Pak Made, Bu Agung, dan Pak Dongker. Menjawab keherananku, Bu Susi mengatakan bahwa memang begitulah seharusnya seorang guru yang kepuasan batinnya terletak pada kesuksesan anak didik.
“Kalau kita memaknai pekerjaan semata-mata demi uang, “ kata Bu Susi menambahkan, “salah alamat memilih profesi guru!”
Tetap saja tak dapat kumengerti ucapan Bu Susi. Yang jelas, tak terbersit keinginan mengikuti jejak kawan-kawan yang kuanggap konyol itu.Jadi, ditinjau dari segi materi maupun harga diri, aku merasa dirugikan dengan mutasi ini. Hatiku memberontak, menggelegak, dan para siswa-lah sasarannya. Meskipun kekesalan hatiku tersalurkan, tapi sejujurnya hatiku tidak bahagia, sebaliknya sangat terluka. Anak-anak tidak melawan, seperti Komang tadi, tapi hati kecilku menentang lebih keras. Aku merasa diejek oleh nuraniku sendiri, sampai-sampai aku tak mampu menghargai diri sendiri. Perasaan menjadi manusia tak berharga seperti ini sungguh-sungguh hukuman! Apa yang bisa kuperbuat kecuali menangis? Berdoa? Tidak! Entah sudah berapa lama kata ‘doa’ menjadi sangat asing bagiku. Dan Yesus? Barangkali ia sedih, menyendiri menanti tobatku, tapi aku telanjur merasa tak layak. Aku tak berani lagi menyapa-Nya.

                                                                                      ***

Pagi cerah. Udara desa yang segar menelusup ke dalam rumah kontrakan ini, pelan-pelan membangunkanku. Mataku terasa berat dan pedih, sisa tangisku semalam. Meskipun suasana indah, namun hatiku tetap muram. Aku bersiap-siap memulai hari ini : mandi, sarapan, bersiap-siap sekedarnya, lalu berangkat ke sekolah. Yang kuharapkan ketika meninggalkan rumah adalah berjumpa dengan Komang. Aku tidak ingin persoalan kemarin berkembang lebih buruk sehingga dapat mencelakakan profesiku. Tentu saja aku tak sudi datang meminta maaf pada Komang. Aku percaya masih ada cara lain untuk mengembalikan citraku tanpa harus merunduk-runduk di depan remaja SMP belasan tahun. Sebuah senyuman tipis saja barangkali sudah cukup untuk mendinginkan suasana.
Tapi rupanya aku harus menelan kekecewaan. Hari ini Komang tidak masuk. Aku gelisah. Kalau sampai tersiar kabar tentang kejadian kemarin, betapa malunya aku. Seorang guru, lebih-lebih wanita, semestinya memiliki kelembutan. Tapi tindakanku pada Komang… aduuuh…apa jadinya jika Pak Oka, kepala sekolah kami lantas melaporkan hal ini pada yayasan? Berturut-turut Komang tidak masuk. Sehari, dua hari, tiga, empat…kegelisahanku memuncak. Anak sialan! Haruskah kucari dia di rumahnya di seberang sungai?  
Hari kelima Komang tidak masuk, guru-guru mulai membicarakannya. Cara mereka berbisik-bisik dan langsung terdiam jika aku ada, sungguh membuat hati semakin tak nyaman. Betul saja. Pada jam istirahat Pak Oka memanggilku. Aku menemuinya di ruang kepala sekolah.
“Selamat siang, Pak,” sapaku menyembunyikan rasa gugup.
“Oh…mari, Bu, silakan duduk. Bagaimana…sudah kerasan tinggal di sini?”
Aku mengangguk. Dalam hati jengkel. Untuk apa pertanyaan basa-basi ini? Aku menunggu vonis.
“Sudah lima hari ini Komang tidak masuk,” ucap pimpinanku. Meskipun arah pembicaraannya sudah kuduga, tak pelak darahku berdesir juga.
“Begini, Bu. Kemarin Ibu Komang datang ke sekolah, memberitahu bahwa Komang tak berani masuk sebab takut berjumpa dengan Ibu.”
“Itu terlalu dilebih-lebihkan, Pak. Saya memarahi Komang dalam batas yang wajar agar ia lebih berhati-hati lain kali.”
“Ya, ya. Saya percaya Ibu tidak bermaksud jelek. Memang begitu anak desa, Bu.  Nyali mereka kecil sekali. Diberi nasihat sedikit saja sudah takut.
Aku tak memberi tanggapan. Kudengar saja kata-kata Pak Oka selanjutnya. Pada pokoknya Pak Oka menghendaki agar aku menemui Komang di rumahnya. Pak Oka sepertinya tidak menyalahkan aku. Sungguh-sungguhkah dia? Ah, persetan! Betapapun baiknya penilaian Pak Oka kepadaku, tak membuat hatiku lega sebab aku lebih mengetahui apa yang telah kuperbuat.

                                                                                      ***

Hingga sore hari tak mampu kutenangkan diri. Haruskah kuturuti anjuran Pak Oka untuk datang ke rumah si keparat cilik Komang? Perlukah aku membanting harga diriku sedemikian rupa di depan muridku sendiri? Tapi…apakah sesungguhnya ‘harga diri’ yang sedang kuperjuangkan ini? Keangkuhankah…atau justru kerendahan hati? Memang, jika aku sedikit mengalah, mengakui  semua kesalahan, pasti aku dimaafkan; lantas kesalahan guru yang memang bukan manusia sempurna ini dianggap wajar. Sebaliknya jika aku bertahan, dalam waktu singkat bisa saja aku menjadi buah bibir orang sedesa. Perilakuku bisa menjadi topik hangat, perbuatan yang tak pantas dilakukan oleh seorang guru : menghukum murid yang tak bersalah, merobek buku yang dengan susah payah dicari anak, dan mungkin akan dibumbui dengan cerita isapan jempol yang lebih menyudutkan martabatku. Tapi…tidak! Aku tak mau menuruti kata hatiku. Bagaimanapun Komang-lah yang harus datang meminta maaf.
Selagi menimbang-nimbang, terdengar langkah-langkah kaki di halaman. Sesaat kemudian di depan pintu yang kubiarkan terbuka berdiri seorang ibu dengan bayi yang melekat di dadanya.
Maap Ibu guru, tiang memene Komang,” ucapnya dengan logat Bali yang kentara.
“Oh, silakan…mari…mari….” Sambutku gugup.
“Pohon pisang di kebun berbuah, Bu guru,” ucapnya sambil menyodorkan pisang yang dibawanya. Aku tidak buru-buru mengulurkan tangan. Mataku waspada. Ia pun kemudian meletakkan pisang itu di atas meja.
“Mana Komang?”
“Eh…dia menunggu di halaman, Bu. Tiang datang untuk memintakan maaf anak tiang.”
“Kenapa Ibu yang minta maaf? Komang sudah besar, sudah kelas dua SMP.  Biarkan dia menyelesaikan masalahnya sendiri!” ujarku memojokkan. Aduuuh…dalam hati kukutuk diri sendiri. Mengapa lagi-lagi kalimat tak bersahabat yang keluar dari mulutku? Apa yang harus diselesaikan Komang? Aku yang bersalah, mestinya aku yang menyelesaikan. Ah… ah… diamlah hatiku…diamlah! Aku guru, Komang murid. Itu saja soalnya.
“Oh, kalau begitu tiang panggil dulu anak tiang,” jawan Ibu Komang sambil tergopoh ke luar. Agaknya Komang tidak mau menemuiku. Kulihat ibunya menarik-narik lengannya, menyeret-nyeret, lalu mengata-ngatai Komang dengan emosi. Aku melihat adegan itu dari pintu yang terbuka dengan hati tersinggung. Jadi Komang tak mau meminta maaf. Baik! Aku pun bisa bersikap sangat keras terhadapnya. Pisang di atas meja kusambar, dengan perasaan tak sepenuhnya sadar kulempar dalam ledakan amarah.
“Sudah, Bu. Tak perlu dipaksa! Kalau dia tak maiau minta maaf, biarkan saja. Saya juga tak butuh permintaan maaf kok! Kalau tidak terima, adukan pada kepala sekolah, silakan! Saya tidak takut!”
Sambil tak henti mengomel dan mengumpat, pintu kubanting dengan sangat keras. Berikutnya masih terdengar kata-kata Ibu Komang, sesaat kemudian pintu diketuk-ketuk. Aku bergeming, tak sudi membuka pintu lagi. Tubuhku lemas, tetapi dada bergemuruh. Aku jatuh terduduk, sekuat tenaga menahan tangis agar tak terdengar oleh Komang dan ibunya yang aku yakin masih di luar. Aku bingung! Rasanya tak kukenal lagi diriku sendiri, yang mengidamkan kebaikan, namun terus-menerus melakukan hal yang buruk. Kupaksakan diri untuk berdiri. Dengan lunglai masuk ke kamar, merebahkan diri dalam penyesalan yang tak tertanggungkan.
Sampai jauh lewat tengah malam aku tak bisa tidur. Alangkah memalukan perbuatanku. Barangkali inilah akhir perjalananku sebagai guru. Aku telah gagal! Dengan rasa kecut harus kuakui bahwa aku tidak pantas menyandang gelar yang diberikan dengan penuh hormat dan cinta pada profesi guru : Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Tidak! Aku bukan pahlawan itu! Telah kukotori profesi agung ini dengan karakterku, dengan motivasiku yang keliru saat memilih pekerjaan ini. Mungkin aku membutuhkan waktu untuk berhenti sejenak, ‘berkaca’ kembali, bertanya pada cermin hatiku mengenai kemurnian panggilan hidupku. Aku butuh waktu untuk berdialog dengan diri sendiri. Jika ternyata aku tidak benar-benar terpanggil untuk pekerjaan ini, baiklah aku mengundurkan diri sebelum menjadi korban dan menjatuhkan korban. Aku harus berani. Ya, besok akan kutemui Pak Oka, lalu ke Denpasar menemui ketua yayasan, minta cuti. Semoga baik kesudahannya.

Dhenok Kristianti
Dimuat di majalah Kartini no.509

Daftar Pustaka 

https://duniakorap.wordpress.com/2011/02/26/nilai-%E2%80%93-nilai-dalam-karya-sastra/
http://www.materikelas.com/2016/03/teks-deskripsi-pengertian-struktur-dan.html
http://www.tandapagar.com/pengertian-unsur-intrinsik-dan-ekstrinsik-cerpen/
https://tentangceritapendek.wordpress.com/2012/09/25/jenis-jenis-cerpen/